Rp200 Triliun: Uang Rakyat Harus untuk Rakyat
Oleh: Muhammad Tohar
Sekretaris bidang Kominfo HMI Cabang Mataram
Mataram (Portalmadani) – Menkeu Baru, Jalan Baru: Dari Neolib ke Ekonomi Kerakyatan?
Niat Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menggelontorkan dana Rp200 triliun ke perbankan nasional memang patut dicermati. Jika tidak hati-hati, langkah ini berisiko berubah menjadi backdoor bailout bagi konglomerat yang tengah megap-megap.
Faktanya, persoalan ekonomi kita bukanlah perbankan yang kekurangan likuiditas. Ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dibereskan agar dana sebesar itu benar-benar menyasar pada tujuan utama: menggerakkan ekonomi riil yang tengah mandek.
Gebrakan Purbaya beberapa jam setelah pelantikan memang menarik. Logikanya sederhana: jika likuiditas tersedia, usaha bergerak, maka lapangan kerja tercipta. Namun tetap perlu dikritisi.
Bukan Soal Likuiditas, tapi Kredit yang Seret
Data OJK dan BI justru menunjukkan perbankan tengah mengalami excess liquidity. Loan-to-Deposit Ratio (LDR) konsisten di bawah 85 persen. Artinya, dana pihak ketiga melimpah, tetapi penyaluran kredit tertahan.
Kenapa kredit tak mengalir deras? Karena permintaan kredit lesu dan risiko usaha tinggi. Ketidakpastian ekonomi membuat bank berhitung lebih hati-hati. Dunia usaha pun enggan berekspansi karena daya beli rakyat rendah. Jadi masalah utamanya bukan pasokan dana, melainkan keberanian pasar mengambil kredit.
Pertanyaan besar pun muncul: untuk siapa sebenarnya Rp200 triliun ini akan dialirkan? Jika tidak cermat, dana publik itu bisa saja berubah jadi talangan bagi korporasi besar untuk menutup utang jatuh tempo. Bank tentu lebih nyaman menyalurkan kredit ke konglomerasi “too big to fail” daripada ke UMKM atau sektor produktif yang dianggap lebih berisiko.
Risikonya jelas: moral hazard. Uang publik dipakai untuk menalangi kegagalan swasta, sementara rakyat kecil tetap kesulitan mengakses kredit. Lebih parah lagi, langkah ini bisa memberi sinyal keliru seolah-olah kebijakan moneter BI tidak efektif, padahal mandat BI berbeda: menjaga stabilitas, bukan jadi mesin pendanaan politik.
Rp200 Triliun dengan Pekerjaan Rumah Ketat
Niat menggerakkan sektor riil patut diapresiasi. Namun jalannya bukan dengan menyalurkan dana besar tanpa syarat ke perbankan. Ada sejumlah langkah yang lebih sehat:
- Kredit bersyarat (directed credit)
Dana pemerintah yang ditempatkan di bank nasional harus diarahkan khusus untuk sektor produktif: UMKM, pertanian, perikanan, dan industri padat karya. Prosesnya wajib transparan dan akuntabel. - Skema penjaminan risiko (credit guarantee)
UMKM sering gagal mendapat akses kredit karena dianggap berisiko. Pemerintah dapat menjadi penjamin agar bank lebih berani menyalurkan pinjaman. - Insentif fiskal untuk bank
Bank yang terbukti menyalurkan kredit ke sektor produktif dengan bunga terjangkau perlu diberi insentif khusus, bukan sekadar kompensasi rutin. - Perkuat daya beli rakyat
Kredit hanya akan mengalir jika ada permintaan. Itu berarti rakyat harus punya daya beli. Caranya, ciptakan lapangan kerja luas, kendalikan harga kebutuhan pokok, hentikan pajak yang mencekik, dan perbesar belanja sosial yang produktif dalam APBN.
Uang Rakyat Harus Kembali ke Rakyat
Rp200 triliun bukan angka kecil. Salah langkah, dana itu hanya akan menolong konglomerat, bukan rakyat. Ini ujian besar bagi Purbaya: berani atau tidak keluar dari jebakan neoliberalisme.
Selama ini, mazhab neolib yang dijalankan Sri Mulyani memang menyehatkan angka APBN di mata investor asing, tetapi di sisi lain membiarkan rakyat tetap lapar.
Kini, kesempatan ada di tangan Menkeu baru. Apakah dana rakyat akan kembali pada rakyat, atau justru menjadi subsidi terselubung bagi oligarki?
Sejarah akan mencatat apakah Purbaya berbeda dengan pendahulunya.
*Penulis Adalah Aktivis Mahasiswa
*Editor: Fen/Portalmadani
