Aliansi BEM Kota dan Kabupaten Bima; Kapolres Bima dan Wakil Bupati Bima Pemimpin Otoriter Tanpa Solusi

Portalmadani.com || Bima — Ribuan massa dari berbagai elemen mahasiswa yang tergabung dalam OKP Cipayung melakukan aksi unjuk rasa di depan bandar udara Sultan Muhammad Salahuddin Kabupaten Bima, menuntut pembentukan provinsi baru provinsi pulau sumbawa (PPS), Rabu (28/05/2025).

Mahasiswa tidak datang membawa senjata, melainkan harapan agar pemerintah pusat mencabut kebijakan moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB) dan menuntut segera mewujudkan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS). Namun, seperti kisah lama yang berulang, aspirasi rakyat kembali disambut dengan tembok bisu kekuasaan dan aparatur negara yang memukul, bukan merangkul.

Demonstrasi yang semula berlangsung damai berubah menjadi ricuh setelah massa menyadari bahwa tidak ada satupun perwakilan pemerintah daerah maupun utusan dari pusat yang hadir menemui massa aksi. Lebih parah lagi, barisan polisi justru menghadang dengan tindakan represif. Dorongan, pemukulan menambah amarah massa yang sudah frustrasi bertahun-tahun.

Tak ayal, ledakan amarah itu pun menjelma menjadi insiden. Mobil dinas milik Dinas Peternakan Pemkab Bima menjadi sasaran pelampiasan. Namun dari balik reruntuhan kaca mobil dan kepulan amarah, justru muncul secercah harapan. Kepala Dinas Peternakan menunjukkan sikap dewasa. Ia tidak menempuh jalur hukum, tidak melaporkan massa, dan justru mengajukan pendekatan restorative justice yakni penyelesaian dengan prinsip keadilan memulihkan, melalui dialog, permintaan maaf, dan ganti rugi jika perlu.

“Niat baik itu ditolak mentah-mentah oleh Kapolres Kabupaten Bima dan Wakil Bupati Bima. Alih-alih mendukung penyelesaian damai, Kapolres Bima dan Wakil Bupati Bima memilih menyeret kasus ini ke ranah pidana, memproses beberapa aktivis sebagai tersangka, dan memperpanjang trauma ketegangan antara rakyat dan negara. Sebuah pilihan pendek dan keliru dari aparat yang semestinya menjadi pengayom, bukan alat pemukul kekuasaan,” Pungkas Presiden mahasiswa UM Bima, Nabil Fajarudin.

Aksi unjuk rasa pada Rabu (28/5) merupakan puncak dari akumulasi luka panjang. Sejak moratorium DOB diberlakukan, wacana PPS hanya menjadi pemanis pidato kampanye. Pemerintah pusat berkali-kali menutup pintu, serta pemerintah daerah tampak tak punya keberanian menjadi jembatan yang memadai.

“Jika negara terus abai, mahasiswa akan mencari jalannya sendiri. Mereka berdiri di bawah terik matahari bukan untuk menyenangkan diri, tetapi karena merasa terabaikan. Bukankah konstitusi menjamin hak menyampaikan pendapat di muka umum? Mengapa ketika hak itu dijalankan, aparat justru bersikap seolah mahasiswa adalah musuh ?,” Tegas Presiden mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bima, Nabil.

Nebil menekankan, jika pemerintah dan kepolisian kita terus mengandalkan pendekatan represif terhadap suara rakyat, pemerintah hanya sedang mengundang bencana politik yang lebih besar. Dia mencontohkan di negara Tunisia tahun 2011 ketika seorang pedagang kecil bernama Mohamed Bouazizi diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat dan pejabat, lalu membakar dirinya sebagai bentuk protes. Negara tidak mengira bahwa itu menjadi awal dari Revolusi Arab Spring yang menggulingkan rezim Presiden Ben Ali. Nabil menegaskan bahwa kejadian itu bukan soal satu orang, tapi soal rakyat yang terlalu lama tidak didengarkan.

Lanjutnya, hal serupa terjadi di Ukraina pada tahun 2013-2014 dalam peristiwa Euromaidan. Protes damai yang menuntut pemerintahan transparan dan anti-korupsi dijawab dengan kekerasan oleh aparat. Apa hasilnya ? Presiden Viktor Yanukovych jatuh, dan negara itu terperosok dalam krisis politik berkepanjangan.

“Jika Indonesia, khususnya Kabupaten Bima, terus mengkriminalisasi warga yang bersuara, maka kita sedang bermain dengan api sejarah,” Ungkapnya.

Kepala dinas peternakan Kabupaten Bima menunjukkan kemauan berdamai dan memulihkan relasi sosial, itu semestinya diapresiasi. Dalam konsep hukum modern, pendekatan restorative justice tidak hanya sah, tetapi juga direkomendasikan dalam Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021. Penolakan Kapolres atas pendekatan damai justru bertentangan dengan semangat hukum progresif yang lebih manusiawi dan kontekstual.

Keadilan tidak selalu berarti hukuman. Dalam banyak kasus, terutama konflik sosial-politik seperti ini, yang dibutuhkan adalah komunikasi, empati, dan pemulihan. Negara tidak boleh menjadi institusi yang hanya bisa menghukum; ia juga harus mampu memeluk.

Negara memilih memenjarakan rakyat yang bersuara, ketimbang mendengar dan berdialog, saat itu pula demokrasi kehilangan maknanya. Kapolres Bima telah mengambil jalan yang salah, sementara Kepala Dinas Peternakan justru menunjukkan teladan yang lebih matang.

“Kita sedang di persimpangan. Antara menjadi bangsa yang belajar dari sejarah atau mengulanginya dengan konsekuensi yang lebih pahit. Rakyat Pulau Sumbawa sudah cukup bersabar. Jangan paksa mereka memilih jalan perlawanan karena negara tidak pernah membuka ruang percakapan,” Tutur Nabil.

Share and Enjoy !

Shares

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.