APBD Kota Bima untuk Mes Kejari dan Asrama Polres; Pengalihan Isu atau Pengkhianatan Rakyat ?

Portalmadani.com || Bima — Dalam beberapa minggu terakhir, publik Kota Bima dikejutkan oleh manuver anggaran Pemerintah Kota Bima yang mengalokasikan dana melalui APBD untuk membiayai pembangunan mes Kejaksaan Negeri dan asrama Polres Bima Kota. Kebijakan ini mendapat penolakan keras dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah (BEM UM) Bima yang secara langsung menyampaikan keberatannya dalam audiensi dengan Sekretaris Daerah Kota Bima.

BEM Universitas Muhammadiyah Bima menilai kebijakan ini cacat dari sisi prioritas, akuntabilitas, dan keadilan fiskal. Lebih jauh, terdapat dugaan bahwa proyek-proyek ini adalah strategi pengalihan isu atas kasus besar yang sedang menjerat mantan Wali Kota Bima, H. Muhammad Lutfi, yang saat ini terlibat dalam pusaran korupsi proyek infrastruktur Dinas PUPR Kota Bima.

Menelisik Anggaran: Untuk Siapa APBD ?

APBD sejatinya adalah instrumen fiskal daerah yang bersumber dari pajak rakyat dan dana transfer pusat, yang seharusnya diprioritaskan untuk layanan dasar publik. Namun, Pemerintah Kota Bima justru menyetujui penganggaran pembangunan mes Kejari sebesar Rp2,5 miliar dan asrama Polres Bima Kota senilai sekitar Rp 3 miliar dalam RAPBD 2024. Total alokasi ini menyentuh angka lebih dari Rp. 5 miliar, hanya untuk fasilitas institusi vertikal yang notabene berada di bawah kewenangan pusat, bukan daerah.

“Publik berhak bertanya, apa urgensi pembangunan ini di tengah jalan lingkungan yang rusak, banjir yang belum tertangani, dan indeks pelayanan publik yang masih rendah. Mengapa Pemkot Bima tidak mendahulukan sekolah-sekolah yang rusak, puskesmas yang kekurangan tenaga, atau program pengurangan pengangguran ?” Ungkap Ketua BEM UM Bima.

Dugaan Pengalihan Isu: Bayang-Bayang PUPR

Muncul dugaan kuat bahwa proyek ini merupakan strategi politik untuk mendekatkan diri kepada institusi penegak hukum dalam rangka “menjinakkan” pengusutan kasus korupsi yang lebih besar, dugaan ini tidak mengada-ada.

Pada awal 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan H. Muhammad Lutfi sebagai tersangka dugaan gratifikasi senilai Rp1,95 miliar terkait proyek infrastruktur di Dinas PUPR, termasuk proyek pelebaran jalan Nungga–Toloweri dan pengadaan lampu jalan. Fakta yang terungkap di persidangan menyebut bahwa proyek-proyek tersebut dikondisikan untuk memenangkan tekanan tertentu yang telah “berkomitmen” memberikan fee.

Ironisnya, institusi penegak hukum yang saat ini sedang (atau seharusnya sedang) mengusut kasus ini justru mendapat hadiah istimewa dari pemerintah daerah dalam bentuk fasilitas baru. Dalam bahasa lain, korupsi belum dibereskan, tetapi kejaksaan dan polisi justru diberikan tempat istirahat baru.

Politik Simbolik dan Bisnis Kekuasaan

Pemberian fasilitas ini dapat dibaca sebagai upaya pencitraan atau pendekatan simbolik untuk mendapatkan proteksi dari lembaga hukum. Ini bukan fenomena baru dalam politik daerah. Ketika kepala daerah atau elit lokal tersandung kasus hukum, mereka kerap memainkan “politik insentif” membagi proyek atau fasilitas kepada pihak-pihak strategis agar mendapat perlindungan atau pengabaian.

“Apakah ini yang sedang terjadi di Kota Bima? Jika iya, maka kita sedang menghadapi sebuah pola kolonialisme modern, di mana APBD diperalat bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan atau menutupi dosa kekuasaan itu sendiri,” tutur Ketua BEM UM Bima.

Mahasiswa dan Masyarakat Tidak Boleh Diam

Sikap kritis BEM UM Bima adalah api kecil yang harus disiram bahan bakar kesadaran publik. Penolakan ini bukan sekadar polemik anggaran, melainkan soal keadilan sosial dan integritas pemerintahan. Mahasiswa dan masyarakat harus mendesak DPRD untuk memanggil pihak eksekutif dan mengevaluasi kebijakan ini secara terbuka. Penggunaan APBD untuk proyek yang tidak mendesak dan penuh dugaan konflik kepentingan harus dihentikan.

Jika dibiarkan, maka ke depan APBD Kota Bima hanya akan menjadi bancakan politik balas jasa dan perlindungan, bukan sebagai alat kesejahteraan rakyat.

Kota Bima Butuh Rakyat yang Kritis, Bukan Penguasa yang Licik.

Bima hari ini tidak kekurangan sumber daya. Yang menjadi kekurangan kita adalah kemauan untuk menjadikan kekuasaan sebagai alat pelayanan. Pemerintah yang baik bukan yang dekat dengan polisi dan kejaksaan, tapi yang takut kepada suara rakyat.

“Apakah Pemkot Bima masih berpihak pada rakyat? Atau justru telah menjadi antek dari kekuasaan korup yang mencoba menyembunyikan bangkainya dengan bangunan baru ?” Pungkas Nabil Fajarudin, Ketua BEM Universitas Muhammadiyah Bima.

Share and Enjoy !

Shares

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.