Kelebihan Pembayaran Dinas PU; Luka Keuangan Negara Rp. 641 Juta yang Tak Boleh Dibiarkan

Portalmadani.com || Makassar — Temuan kelebihan pembayaran pada 20 paket pekerjaan Dinas Pekerjaan Umum (PU) yang merugikan perekonomian negara sebesar Rp. 641 juta bukanlah sekadar kesalahan administrasi. Ini murni pelanggaran serius terhadap prinsip pengelolaan keuangan negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Pasal 3 Undang-undang Keuangan Negara tegas menyebutkan bahwa setiap uang negara harus digunakan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Kelebihan pembayaran berarti ada proses yang tidak tertib dan melanggar asas tersebut. Bahkan, jika unsur kesengajaan terbukti, perbuatan ini berpotensi memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Wildan menegaskan, kita tidak bisa terjebak pada logika bahwa angka Rp. 641 juta itu kecil dibanding kasus korupsi miliaran. Uang rakyat, sekecil apa pun, tetaplah uang rakyat. Dalam hukum, tidak ada toleransi terhadap pelanggaran yang jelas-jelas merugikan keuangan negara. Apalagi ini terjadi pada 20 paket pekerjaan sekaligus, yang mengindikasikan adanya pola, bukan insiden tunggal.
Kasus ini harus menjadi alarm bagi penegak hukum, terutama APIP, Inspektorat, BPK, Kejaksaan, dan KPK, bahwa kebocoran anggaran di sektor infrastruktur sering kali dimulai dari modus “kelebihan bayar” yang kemudian dianggap lumrah. Jika pola ini dibiarkan, kerugian akan berulang setiap tahun, membusukkan sistem birokrasi dari dalam.
Lebih dari itu, tindak lanjut yang harus dilakukan bukan sekadar pengembalian kerugian. Aparat penegak hukum wajib menelusuri indikasi persekongkolan antara pejabat pembuat komitmen (PPK), pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), dan kontraktor pelaksana. Jika ditemukan bukti adanya niat memperkaya diri atau pihak lain, maka proses pidana wajib ditempuh.
Kita harus ingat, Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, diancam pidana penjara paling lama 20 tahun.
“Uang Rp. 641 juta yang hilang dari sirkulasi produktif bukan sekadar angka. Itu adalah fasilitas publik yang tak terbangun, jalan yang tak diperbaiki, dan hak rakyat yang terampas. Setiap rupiah yang “bocor” adalah duri dalam roda perekonomian daerah dan nasional,” Pungkas Wildan.
Karena itu, masyarakat berhak menuntut transparansi, penegakan hukum yang tegas, dan perbaikan sistem pengawasan. Jangan sampai kelebihan bayar menjadi kamuflase bagi praktik korupsi yang dilegalkan oleh kelalaian birokrasi.