Presma UM Bima; Ketua DPRD Kabupaten Bima dan Nyali yang Gagal Tumbuh

Portalmadani.com || Bima — Pemimpin sejati tidak bersembunyi dari suara rakyat; mereka berdiri di depan, bahkan ketika kritik menusuk tajam.
Ada ukuran sederhana untuk menilai kadar kepemimpinan seseorang: keberanian menghadapi kritik. Jika ukuran ini diterapkan kepada Ketua DPRD Kabupaten Bima, maka jawabannya terang: gagal.
Penolakan Ketua DPRD untuk menerima Rapat Dengar Gagasan yang diinisiasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Bima menjadi bukti betapa rapuhnya mental kepemimpinan di tubuh parlemen daerah ini. Sikap abai, bahkan cenderung menghindar dari forum yang terbuka dan penuh itikad baik itu, mempertegas satu hal: bahwa jabatan politik hari ini lebih banyak diisi oleh mereka yang takut diuji gagasan, bukan diuji kesetiaan kepada rakyat.
BEM UM Bima, sejatinya telah mengajukan ruang dialog yang beradab. Bukan demonstrasi jalanan yang penuh kemarahan, melainkan forum intelektual untuk bertukar pikiran. Tetapi, respons yang datang justru sepi, dingin, dan angkuh. Ini bukan hanya persoalan etika politik, melainkan juga kegagalan memahami esensi kepemimpinan: keberanian hadir di tengah kritik, mendengar, dan merespons dengan gagasan, bukan ego kekuasaan.
Seorang Ketua DPRD bukanlah simbol kehormatan semata, melainkan pelayan aspirasi. Ia dipilih bukan untuk bersembunyi di balik protokoler birokrasi, melainkan untuk berdiri di garis depan, menanggung kritik, dan memperjuangkan suara masyarakat — termasuk suara para mahasiswa yang mulai muak dengan teater politik yang jauh dari realitas rakyat.
Jika pada ruang sesederhana forum mahasiswa saja Ketua DPRD memilih absen, bagaimana mungkin publik berharap banyak kepadanya dalam menghadapi tantangan besar daerah ini? Ketakutan untuk mendengar adalah gejala awal dari kegagalan memimpin.
Lebih dari itu, tindakan ini mengirimkan pesan keliru: bahwa kursi kekuasaan hanya untuk mereka yang mencari kenyamanan, bukan ujian keberanian. Ini adalah cermin buruk bagi generasi muda yang hari ini mendambakan teladan, bukan sekadar pejabat.
Sudah waktunya Ketua DPRD bercermin. Jabatan politik bukan benteng untuk berlindung, melainkan medan tempur untuk menguji keberanian. Jika tak siap berdialog dengan mahasiswa, maka sebaiknya bersiap juga untuk menghadapi ketidakpercayaan publik yang akan datang lebih keras.
Menghindari mahasiswa adalah menghindari masa depan; dan pemimpin yang takut masa depan, layak ditinggalkan oleh zaman. Rakyat butuh pemimpin, bukan aktor panggung yang gemetar ketika panggilan perubahan disuarakan.