Korsu BEM PTMA Indonesia Dukung Gerakan Masyarakat Pulau Sumbawa di Pelabuhan Poto Tano

Portalmadani.com || Bima — Selama lebih dari dua dekade, wacana pemekaran provinsi pulau sumbawa (PPS) hadir sebagai artikulasi politik dari proses panjang marginalisasi struktural. Dalam konteks ini, gerakan pemekaran tidak semata-mata merupakan aspirasi administratif, melainkan sebuah tuntutan historis yang berbasis pada prinsip-prinsip keadilan distributif, partisipasi demokratis, dan desentralisasi substantif sebagaimana diamanatkan dalam kerangka konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gerakan 15 Mei di pelabuhan Poto Tano Sumbawa bukan sekadar manifestasi dari aspirasi kedaerahan. Ia adalah akumulasi dari frustasi kolektif atas stagnasi kebijakan pusat yang cenderung menormalisasi ketimpangan antar wilayah dalam bingkai moratorium Daerah Otonomi Baru (DOB). Pulau Sumbawa, yang menyumbang 76% dari total luas wilayah provinsi NTB, justru terus mengalami keterbelakangan infrastruktur, minimnya akses layanan dasar, serta subordinasi fiskal yang sistemik.

Pertama dimensi filosofis; ketidakadilan sebagai anomali di Indonesia

Pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa merupakan bentuk konkret dari upaya penegakan sila kelima Pancasila, yakni “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Ketika akses terhadap hak-hak dasar, pembangunan wilayah, dan distribusi anggaran masih terpusat pada Lombok, maka narasi keadilan sosial kehilangan maknanya sebagai dasar etika kebijakan publik. Keadilan tidak dapat diklaim telah tercapai selama negara gagal menghilangkan disparitas spesial yang melembaga.

Kedua dimensi sosiologis; Identitas regional sebagai modal sosial otonomi

Aspirasi pemekaran bukan entitas yang artifisial. Ia lahir dari akar sosiologis yang kuat. Lima kabupaten/kota di Pulau Sumbawa meliputi Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima memiliki keterikatan historis, kebudayaan, dan bahasa yang khas. Kekuatan identitas ini menjadi modal sosial penting dalam menyelenggarakan otonomi yang responsif, partisipatif, dan berkelanjutan.

Pemekaran provinsi bukan sekadar pemisahan wilayah, tetapi pembentukan sistem pemerintahan yang lebih dekat, adaptif, dan sesuai dengan kebutuhan lokal. Dalam teori pembangunan wilayah, pemusatan kebijakan tanpa mempertimbangkan keragaman sosial-budaya hanya akan menghasilkan kebijakan “one-size-fits-all” yang rentan gagal.

Ketiga dimensi Yuridis; Negara mengabaikan hak konstitusional rakyatnya

Konstitusi Indonesia (Pasal 18 UUD 1945) telah dengan tegas menyatakan bahwa negara menjamin efektivitas pemerintahan melalui pembentukan daerah otonom. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 juncto UU Nomor 9 Tahun 2015 dan PP Nomor 78 Tahun 2007 telah menetapkan mekanisme objektif yang harus dipenuhi dan Pulau Sumbawa telah melewati semua itu dengan skor teknis 479,7 dari 500 poin (kategori sangat layak).

Dengan demikian, penundaan yang terus berlangsung atas nama moratorium bukan lagi alasan administratif, melainkan bentuk pembiaran terhadap pelanggaran hak konstitusional rakyat yang telah memenuhi seluruh syarat legal-formal.

Keempat dimensi Ekonomi-Politik: Asimetri Fiskal dan Ironi Kekayaan Sumber Daya

Pulau Sumbawa adalah wilayah dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar, terutama sektor pertambangan (emas dan tembaga di Batu Hijau), perikanan, pertanian, peternakan, dan pariwisata. Namun, hingga kini distribusi fiskal tidak mencerminkan kontribusi dan kapasitas wilayah. Kebijakan fiskal yang tersentralisasi menciptakan paradoks, daerah kaya sumber daya, namun miskin dalam infrastruktur dan kesejahteraan.

Dalam kacamata ekonomi politik, ini adalah bentuk baru kolonialisme internal ketika pusat mendistribusi hasil daerah tanpa distribusi kembali dalam bentuk pembangunan yang proporsional.

“Saya juga melirik DPD RI sebagai representasi yang terfragmentasi. Lembaga yang seharusnya menjadi corong daerah. DPD RI justru mengalami kemandulan fungsional. Minimnya keberpihakan dan advokasi DPD terhadap aspirasi pemekaran Pulau Sumbawa membuktikan bahwa lembaga ini telah terjebak dalam simbolisme politik tanpa performa substantif. DPD tidak lagi menjadi representasi daerah, melainkan hanya perpanjangan formal dari sistem yang meminggirkan kepentingan daerah itu sendiri,” Pungkas Korsu BEM PTMA.

DPR RI dan Komisi II Politik Akomodatif Tanpa Inisiatif. Sementara itu, Komisi II DPR RI, yang secara struktural bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan daerah, tampak enggan melakukan terobosan legislasi untuk mengevaluasi kebijakan moratorium. Kegagalan mereka dalam menginisiasi evaluasi kritis terhadap DOB menunjukkan bahwa moratorium telah menjadi alat politik status quo.

DPR RI Dapil Pulau Sumbawa; Representasi yang Amnesia

Pasalnya diamnya wakil rakyat adalah bukti pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Anggota DPR RI dipilih bukan hanya untuk hadir dalam rapat, tetapi untuk menyuarakan keberpihakan. Ketidakberanian wakil rakyat memperjuangkan pemekaran hanya menegaskan satu hal yaitu lebih takut kehilangan posisi partai daripada kehilangan kepercayaan rakyat.

“Gerakan 15 Mei di Poto Tano adalah momentum sejarah. Bukan hanya dalam arti mobilisasi, tetapi sebagai bentuk pembangkitan kesadaran politik regional. Karena itu saya pasti saya juga hadir secara langsung berdiri bersama masyarakat pulau sumbawa untuk menyatakan perlawanan terhadap penindasan yang sudah lama dirasakan oleh masyarakat pulau sumbawa. Jika negara terus meminggirkan, maka rakyat akan bergerak dari pinggir untuk merebut tempat di pusat. Pemekaran bukan tuntutan administratif, tapi imperatif demokratis dan konstitusional,” Ungkapnya.

“Kami tidak sedang meminta kemurahan hati negara. Kami menagih keadilan yang sudah dijamin dalam hukum tertinggi. Dan jika negara terus berkelit, maka rakyat akan mengingatkan dengan cara yang tidak lagi bisa diabaikan,” tuturnya.

Share and Enjoy !

Shares

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.