NasPol NTB-Makassar Raya; Polisi Tidak Sepantasnya Jadi Konten Kreator Saat Amankan Aksi Mahasiswa

Portalmadani.com || Bima — Aksi demonstrasi mahasiswa yang digelar di depan Kantor Pertamina Wadu Mbolo Kota Bima adalah bentuk keresahan kolektif terhadap kebijakan dan realitas sosial yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Aksi ini merupakan bagian dari praktik demokrasi yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3), yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa dari Pemerhati Kebijakan (PK Institut) memantik perhatian publik. Aksi ini mengkritik atas berbagai persoalan distribusi dan pengelolaan energi di daerah. Namun, yang kemudian menjadi sorotan bukan hanya substansi tuntutan mahasiswa, melainkan respons aparat kepolisian yang justru menjadikan momentum tersebut sebagai bahan konten untuk media sosial, khususnya TikTok dan Facebook.
Perlu ditekankan, pengamanan aksi demonstrasi bukanlah panggung hiburan. Polisi hadir bukan untuk mendokumentasikan aksi dalam bentuk konten media sosial, melainkan memastikan keselamatan, keamanan, dan kondusifitas aksi.
“Ketika aparat menjadikan demonstrasi sebagai bahan candaan, maka yang direndahkan bukan hanya mahasiswa, tetapi juga martabat lembaga kepolisian itu sendiri.” Pungkas koordinator NasPol NTB-Makassar Raya, Farden.
“Kita patut bertanya, di mana letak empati dan tanggung jawab profesional aparat? Bukankah institusi Polri telah lama mendengungkan jargon “Presisi” prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan? Maka ketika ada aparat yang justru memperolok suara publik, jelas itu bertolak belakang dengan semangat reformasi institusi kepolisian yang digagas sejak 1998.” Ungkapnya.
Farden menilai tindakan tersebut mencederai etika dan profesionalitas institusi kepolisian. Dalam konteks pengamanan aksi, polisi seharusnya menjaga netralitas dan fokus pada tugas konstitusionalnya yaitu menjamin keamanan dan melindungi hak berekspresi warga negara. Ketika aparat menjadikan aksi serius sebagai bahan lelucon atau konten viral, maka hal itu bukan hanya merendahkan semangat demokrasi, tetapi juga menambah jarak antara aparat dan rakyat.
Sebagai Koordinator Nasional Politik NTB-Makassar Raya, Farden, menilai tindakan polisi tersebut tidak hanya tidak etis, tetapi juga bisa dikategorikan sebagai pelecehan terhadap ruang demokrasi. Aksi mahasiswa bukan tontonan, apalagi bahan hiburan. Ini adalah suara rakyat yang menuntut keadilan, transparansi, dan keberpihakan negara pada kepentingan publik.
Farden kembali menangaskan kepada institusi kepolisian dalam hal ini Kapolres Bima kota untuk melakukan evaluasi internal dan memberikan sanksi bagi oknum yang menjadikan pengamanan aksi sebagai panggung pribadi. Jika tidak, publik akan semakin kehilangan kepercayaan terhadap fungsi aparat sebagai pengayom, bukan pelawak dalam panggung penderitaan rakyat.
“Kita butuh polisi yang tangguh dalam pengabdian, bukan yang sibuk membangun citra di TikTok saat rakyat sedang berteriak.” Tegasnya.