Suara Mahasiswa Tidak Boleh Dibungkam: Seruan Mufti Alhikmatiar & Nabil Fajaruddin atas penahanan Kader Cipayung

Portalmadani.com || Bima — Universitas Muhammadiyah Bima kembali menjadi pusat denyut nadi perlawanan moral. Dua figur penting mahasiswa, Nabil Fajaruddin, mantan Presiden Mahasiswa UM Bima, dan Mufti Alhikmatiar, Presiden Mahasiswa terpilih menyatakan sikap tegas terhadap penahanan enam kader OKP Cipayung oleh Polres Kabupaten Bima. Penahanan ini dinilai sebagai bentuk pembungkaman suara kritis mahasiswa yang memperjuangkan aspirasi rakyat.

Dalam pernyataan Nabil Fajaruddin menegaskan bahwa penahanan tersebut sarat kepentingan politis dan jauh dari prinsip keadilan.

“Upaya Restoratif Justice telah ditempuh, bahkan prasyaratnya telah dipenuhi. Namun, Kapolres Kabupaten Bima justru menutup mata dan telinga,” ujar Nabil Fajarudin.

Hal senada ditegaskan oleh Mufti Alhikmatiar. Ia menilai bahwa penahanan enam kader Cipayung mencerminkan sikap antikritik dari aparat penegak hukum.

“Jika aparat bersikap represif terhadap suara mahasiswa, lalu kepada siapa rakyat akan menyampaikan jeritan mereka?” katanya.

Pernyataan ini bukan sekadar keluhan personal. Ini adalah protes moral terhadap praktik hukum yang dipertanyakan legitimasinya. Padahal, dalam Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, ditegaskan bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Termasuk hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Lebih jauh, pendekatan hukum berbasis restoratif justice seharusnya menjadi langkah utama dalam menangani konflik sosial. Jika proses itu telah dijalankan, mengapa justru penahanan masih dilanjutkan? Apakah ini bentuk pembalasan atau ketakutan terhadap gerakan moral mahasiswa?

Pihak kepolisian, khususnya Kapolres Kabupaten Bima, hingga kini belum memberikan respons yang jelas terhadap desakan ini. Padahal, keberlanjutan penahanan para aktivis muda ini tidak hanya melukai keadilan hukum, tetapi juga memperkeruh relasi antara negara dan generasi muda yang vokal.

Nabil dan Mufti menyerukan kepada seluruh elemen mahasiswa, terkhusus di Bima, untuk tidak bungkam. Ini bukan semata soal enam orang. Ini soal hak bersuara, soal ruang demokrasi, dan soal masa depan keadilan itu sendiri.

“Diam adalah pengkhianatan terhadap nurani. Saat keadilan diinjak-injak, mahasiswa harus berdiri di barisan paling depan,” pungkas Mufti Alhikmatiar.

Suara mereka adalah refleksi dari jiwa mahasiswa sejati: gelisah terhadap ketidakadilan dan berani menyuarakan kebenaran, meski dalam tekanan. Kini, tinggal publik dan institusi hukum: apakah mereka mendengarkan, atau justru menambah daftar panjang pembungkaman terhadap suara perubahan?

Share and Enjoy !

Shares

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.