Populisme Kosong dan Kepemimpinan Seremonial; Membedah Politik Gaya Wali Kota Bima dalam Bingkai Kritik Yascha Mounk

Portalmadani.com || Bima — Dalam The People vs Democracy, Yascha Mounk mengingatkan kita akan bahaya populisme: gaya kepemimpinan yang mengklaim berbicara atas nama “rakyat”, namun justru melemahkan lembaga dan menggantikan substansi dengan retorika. Wacana populisme ini kini menemukan relevansinya dalam praktik kekuasaan di Kota Bima, di mana kepemimpinan Wali Kota saat ini lebih sering tampil dalam panggung seremonial ketimbang dalam meja kerja kebijakan yang berpihak pada kebutuhan warga.

Pada awal 2025, Pemerintah Kota Bima menetapkan proyek pembangunan ikon baru kota berupa City Walk Center senilai Rp 15 miliar, yang disebut-sebut akan “menghidupkan perekonomian rakyat” dan “meningkatkan estetika kota.” Namun ironisnya, pada saat bersamaan, angka pengangguran terbuka di Kota Bima masih bertengger di angka 7,6% (Data BPS, Triwulan I 2025), dan sekitar 28% rumah tangga tercatat belum mendapatkan akses air bersih yang memadai, sarana infastruktur kebutuhan masyarakat yang di abaikan, jaringan seluler di wilayah Nungga, angka kemiskinan yang masih tinggi, kriminalitas yang masih tinggi, polemik air bersih, Persoalan banjir serta turunnya harga jagung sementara Bapak walikota Bima lebih mendahulukan pembangunan yang tidak urgensi untuk kebutuhan masyarakat. Mengapa estetika kota lebih didahulukan daripada hak dasar warga?

Populisme, menurut Mounk, kerap menampilkan pemimpin sebagai “penyelamat rakyat” yang mengabaikan institusi dan mekanisme akuntabilitas. Ini terlihat dalam praktik anggaran Kota Bima, di mana beberapa keputusan strategis justru diambil tanpa konsultasi publik yang terbuka. Misalnya, dalam APBD 2025, dana sebesar Rp 4,7 miliar dialokasikan untuk pembangunan Mess Kejaksaan dan Asrama Polres, dua lembaga vertikal non-kewenangan pemda, sementara pos anggaran untuk perbaikan rumah tidak layak huni hanya mendapat Rp 850 juta—padahal backlog perumahan masih tinggi.

Gaya populis juga kentara dalam strategi komunikasi Wali Kota: mengumbar kunjungan ke kampung-kampung dengan narasi “blusukan”, tapi tak disertai perubahan struktural yang menjawab masalah warga. Kamera selalu hadir, tetapi kebijakan sering absen. Retorika “kita bersama rakyat” kehilangan makna ketika warga yang kehilangan akses pendidikan layak, listrik stabil, dan pelayanan kesehatan memadai tetap terpinggirkan. Dalam kerangka kritik Yascha Mounk, kita melihat bahwa demokrasi lokal bisa terjebak dalam wajah populisme yang merusak: mengagungkan figur di atas sistem, memoles citra ketimbang membenahi struktur. Ini berbahaya, sebab jika terus dibiarkan, publik akan dimabukkan simbol tanpa disadarkan pada hakikat kedaulatan.

Kepemimpinan kota bukan panggung hiburan. Ia adalah arena keputusan sulit: tentang siapa yang dibantu terlebih dahulu, masalah apa yang mesti diselesaikan secara sistemik, dan bagaimana uang rakyat digunakan secara adil. Maka, sudah waktunya kita tidak lagi silau pada janji-janji kosong populisme, tetapi mulai membangun demokrasi kota yang berpijak pada transparansi, akuntabilitas, dan kebijakan berbasis kebutuhan rakyat.

Share and Enjoy !

Shares

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.